Ketiga petani Polsek Kutai Timur itu sebenarnya adalah tiga petani di kawasan PT KPCT Batot, yakni X Andi Baso, Abdul Panjayitan dan Mashuri, dan diciduk oleh pihak Kutai Timur pada 21 Januari lalu. 2021. Areal yang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi (KTMG) seluas 800 hektar. Penyebabnya berawal dari demonstrasi sekelompok petani di dekat Jalan Poros Sangatta, Bangladesh pada tahun 2019. Aksi damai saat itu menuntut PT Kaltim Prima Coal (KPC) bertanggung jawab atas tanah miliknya, yang merupakan bagian dari konsesi pertambangan perusahaan, yang memiliki perjanjian pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Andy Basso, yang ditemui di kediamannya, mengatakan luas total 800 hektare, 600 hektare di antaranya digunakan untuk pertanian. Pada tahun 2018, Andy Baso dan anggota KTMG mengajukan permohonan tanah kepada PT KPC.
Ia kemudian diperbolehkan berkoordinasi dengan tim PT KPC. Hasil pengukuran mengkonfirmasi bahwa area tersebut tidak lagi sama dengan sebelumnya. Sesuai dengan sertifikat/rekomendasi dari Kepala Desa Sangata. KPC mengukur 800 hektar dan hanya mengizinkan 387 hektar... Kata mereka setengahnya hijau, jadi kami bertanya siapa yang bertanggung jawab dan mengapa hijau, dan siapa yang melepaskannya tidak bisa ditampilkan.
Selain itu juga dilakukan pengukuran lebih lanjut, sehingga Baso melakukan pengukuran bersama dengan perangkat desa Svarga Bara, KTMG dan kelompok pengukuran PT KPC. Alhasil, total luas areal perusahaan tambang batu bara itu 294 hektare, sedangkan luas kelompok tani hanya 93 hektare. Rekannya mempertanyakan keakuratan kompensasi.
“Katanya nanti kita laporkan ke pihak berwajib dulu. Jadi hasilnya nanti sampai kita bicara dengan Pak Marno (perwakilan PT KPC) yang memimpin rapat...untuk membahas definisi kawasan dengan Pak Iskandar (perwakilan dari PT KPC). wakil dari PT KPC), jadi dia masalah bagi kami. Nantikan nilai nominalnya Pak Marneau dan Pak Iskandar,” kata Basso mengulangi percakapannya dengan tim korporat bentukan BHP Billiton (BP) dan Rio Tinto Grup (KRA).